ilyas walidi

Senin, 15 November 2010

Pengertian Wara dan Hakikatnya dalam Syari'at

Pengertian Wara dan Hakikatnya dalam Syari'at
Wara secara etimologi (bahasa): berasal dari kata:وَرِعَ , يَرِع yang di ambil dari ( ورع ) yang bermakna 'menahan' dan 'tergenggam'.

Ibnu Faris berkata:
"Wara bermakna juga: العفة (menjaga diri) yaitu: menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya…



Wara secara etimologi (bahasa): berasal dari kata:وَرِعَ , يَرِع yang di ambil dari ( ورع ) yang bermakna 'menahan' dan 'tergenggam'.

Ibnu Faris berkata:
"Wara bermakna juga: العفة (menjaga diri) yaitu: menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya…


Ibu Manzhur berkata:
الوَرَع (wara) artinya: merasa risih (jawa=pekewuh).
Dan الوَرِع (dengan mengkasrohkan huruf ro') artinya orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih.

Asal arti kata wara adalah: menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Kemudian dipinjam untuk istilah menahan diri dari hal mubah (yang dibolehkan) dan halal.

Dalam mengartikan makna wara ini ulama berbeda dalam pengungkapannya dengan banyak ungkapan. Beda ungkapan tetapi sepakat dalam makna. Saya nukilkan beberapa di antaranya -dengan taufik Allah-:

Ibnu Umar berkata:
"Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya.

Dengan makna yang serupa diungkapkan oleh sebagian salaf:
"Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan hingga meninggalkan apa yang tidak memudaratkan demi kehati-hatian dari perkara yang mengandung kemudaratkan."




Ibrohim bin Adham berkata:
"Wara adalah meninggalkan setiap perkara samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu adalah meninggalkan hal yang berlebihan.

Dikatakan pula:
"Wara artinya keluar dari syahwat (hawa nafsu) dan meninggalkan kejelekan-kejelekan."

Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmatinya- berkata[ Majmu Fatawa X/617.]:
"Adapun wara, maknanya: Menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya. Siapa yang terjerumus pada perkara samar, terjerumus dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang mengembala di sekitar pagar, tidak ayal akan masuk kedalamnya."


Tidak diragukan bahwa seseorang dikatakan bersifat wara atau takwa karena didapati adanya aksi penolakan dan menahan diri dari apa yang dilarang (bukan karena ketidakadaan apa yang dilarang).

Kesimpulan uraian: selama tidak ada perkara yang terlarang, tidak akan ada pula perkara yang memudaratkan, baik berbentuk celaan, hukuman dan yang sepertinya.
Adanya aksi penolakan, proteksi diri dan menghindar dari perkara telarang berarti telah melakukan aksi ke-saleh-an, ketaatan dan takwa, yang membuahkan manfaat, baik berbentuk pujian, pahala dan yang sepertinya. Jadi, adanya mudarat berbanding lurus dengan adanya kejelekan. Dan adanya manfaat berbanding lurus dengan adanya hasanat (kebaikan-kebaikan)

Untuk sesuatu yang sudah jelas kehalalannya, meninggalkannya bukanlah termasuk wara. Dan apapun yang sudah jelas keharamannya mengerjakannya bukanlah wara.

Ibnu al-Qoyyim -semoga Allah merahmatinya- berkata:
"Nabi telah merangkum pengertian wara dalam satu kalimat:

)) مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ ((
"Dari baiknya keislaman seseorang itu adalah meninggalkan apa yang bukan urusannya (dikuasainya)." [ Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Turmudzi, Ibnu Majah dan selain keduanya. Hadits ini divalidkan oleh sekumpulan ulama dan dilemahkan oleh sebagian lain, dan inilah yang kuat. Lihat perinciannya pada kitab [Jami al-Ulum wa al-Hikam], di awal penjelasan hadit ke-12, hadits ini.]
Mencakup 'meninggalkan apa-apa yang bukan urusannya': baik berupa pembicaraan, pandangan, pendengaran, jamahan, langkah, fikiran dan segala aktifitas lahir maupun batin. Kalimat Nabi di atas gamblang dan simpel memberikan pengertian sifat wara." [ Madarijus salikin: II/22]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar...